Jumat, 25 Oktober 2019

Macam-Macam Putusan Hakim

Pasal 185 HIR/196 Rbg menentukan,
putusan yang bukan merupakan putusan akhir
walaupun harus diucapkan dalam persidangan
juga, tidak dibuat secara terpisah, melainkan
hanya dituliskan dalam berita acara
persidangan saja. Kedua belah pihak dapat
meminta supaya kepada mereka diberi salinan
yang sah dari putusan itu dengan ongkos
sendiri.
Di pengadilan negeri dapat dibedakan
putusan pengadilan atas 2 (dua) macam yaitu:
1. Putusan sela (tussen vonnis)
2. Putusan akhir (end vonnis)
Putusan sela adalah putusan yang
dijatuhkan sebelum putusan akhir yang
diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan
atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan
perkara. Seperti tergugat mengajukan suatu
tangkisan (eksepsi) yang menyatakan bahwa
pengadilan negeri tersebut tidak berwenang
mengadili (kompetensi abslout), karena perkara
tersebut adalah wewenang pengadilan lain.
Dalam hal ini, pasal 136 HIR menentukan
eksepsi (tangkisan) yang sekiranya hendak
dikemukakan oleh orang yang digugat, kecuali
tentang hal hakim tidak berkuasa, tidak boleh
dikemukakan dan ditimbang sendiri-sendiri
tetapi harus dibicarakan dan diputuskan
bersama-sama dengan pokok perkara. Berbeda
dengan perkara pidana di mana putusan sela
terhadap semua jenis eksepsi dapat diputuskan
secara terpisah dari putusan akhir, sedangkan
dalam perkara perdata kecuali eksepsi tentang
kewenangan mengadili putusan sela tidak
dibuat secara terpisah, melainkan hanya
dituliskan dalam berita acara pemeriksaan.
Dalam hukum acara perdata dikenal
beberapa macam putusan sela yaitu:
1. Putusan preparatoir, yaitu putusan
persiapan mengenai jalannya
pemeriksaan untuk melancarkan segala
sesuatu guna mengadakan putusan akhir,
seperti putusan untuk menolak
pengunduran sidang.
2. Putusan interlocutoir, yaitu putusan yang
isinya memerintahkan pembuktian.
Seperti putusan untuk memeriksa saksi
atau pemeriksaan setempat. Karena
putusan ini menyangkut masalah
pembuktian, maka putusan interlocutoir
akan mempengaruhi putusan akhir.
3. Putusan Incidenteil adalah putusan yang
berhubungan dengan insiden yaitu
peristiwa yang menghentikan prosedur
peradilan biasa seperti putusan yangmembolehkan pihak ketiga ikut serta
dalam suatu perkara.
4. Putusan Provisionil, yaitu putusan yang
menjawab tuntutan provisi yaitu
permintaan pihak yang berperkara agar
diadakan tindakan pendahuluan guna
kepentingan salah satu pihak sebelum
putusan akhir dijatuhkan. Seperti dalam
perceraian sebelum pokok perkara
diputuskan, isteri minta dibebaskan dari
kewajiban untuk tinggal bersama dengan
suaminya, karena suaminya suka
menganiaya. Seperti dalam atap rumah
yang disewa oleh penggugat dirusak oleh
tergugat, sedangkan pada waktu itu
musim hujan sehingga tergugat harus
segera dihukum untuk memperbaiki atap
tersebut.2
Putusan akhir adalah putusan yang
mengakhri perkara pada tingkat pemeriksaan
pengadilan, meliputi pengadilan tingkat
pertama, pengadilan tinggi dan Mahkamah
Agung. Putusan akhir menurut sifatnya
amarnya (diktumya) dapat dibedakan atas 3
macam:
1. Putusan condemnatoir yaitu putusan
hakim yang bersifat menghukum salah
satu pihak untuk memenuhi prestasi
tersebut. Seperti putusan hakim yang
menghukum tergugat untuk
mengembalikan barang, menyerahkan
sejumlah uang ganti rugi dan lain-lain
kepada penggugat.
2. Putusan deklaratoir yaitu putusan yang
dijatuhkan oleh hakim yang bersifat
menerangkan bahwa telah diterapkan
suatu keadaan hukum atau menentukan
adanya keadaan hukum yang dinyatakan
oleh para pihak (penggugat), seperti
putusan hakim yang menyatakan anak
tersebut adalah anak sah dari pasangan
suami istri Ahmad dan Aminah, putusan
tentang kelahiran seseorang, kedudukan
ahli waris dan sebagainya.
3. Putusan konstitutif yaitu putusan hakim
yang bersifat ditetapkan suatu keadaan
baru atau dihapuskannya keadaan
hukum, pembatalan suatu perjanjian,
putusan tentang perceraian dan lain-lain.
Di lihat dari kehadiran tergugat ke muka
sidang, maka putusan akhir dapat dibedakan
di atas:
1. Putusan kontradiktoir yaitu putusan
yang dijatuhkan oleh hakim dalam
keadaan pihak tergugat pernah datang
menghadap ke muka sidang di
pengadilan, meskipun tergugat tidak
memberikan perlawanan atau
pengakuan.
2. Putusan verstek yaitu putusan yang
dijatuhkan oleh hakim dalam keadaan
pihak tergugat tidak pernah hadir
dipersidangan meskipun telah di panggil
secara patut. Dalam hal ini hakim harus
mempertimbangkan ketentuan pasal 15,
16 HIR, pasal 149, 150 Rbg dan syarat-
syarat bahwa tergugat tidak pernah
datang menghadap pada hari sidang
yang telah ditentukan, juga tidak
mengirimkan wakil atau kuasanya yang
sah, telah dipanggil secara patut, petitum
tidak melawan hak, dan beralasan maka
gugatan dikabulkan dengan putusan
verstek


Sumber: HUKUM ACARA PERDATA
DR. Kamarusdiana, M.H

Posita, Petitum, Replik, dan Duplik

    Di dalam suatu perkara perdata, pihak penggugat akan mengajukan gugatan ke pengadilan negeri. Ketentuan pengajuan gugatan diatur dalam Pasal 118 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (“HIR”). Di dalam artikel Format Surat Gugatan dijelaskan bahwa secara garis besar surat gugatan biasanya berisi antara lain:
    1.    Identitas para pihak (Persona standi in judicio)
    Berisi identitas lengkap penggugat antara lain nama lengkap, alamat, tempat dan tanggal lahir, umur, jenis kelamin, dan kapasitas penggugat (misalnya sebagai diri sendiri atau sebagai Direksi PT XYZ)
    2.    Posita
    Posita disebut juga dengan Fundamentum Petendi yaitu bagian yang berisi dalil yang menggambarkan adanya hubungan yang menjadi dasar atau uraian dari suatu tuntutan. Untuk mengajukan suatu tuntutan, seseorang harus menguraikan dulu alasan-alasan atau dalil sehingga ia bisa mengajukan tuntutan seperti itu. Karenanya, fundamentum petendi berisi uraian tentang kejadian perkara atau duduk persoalan suatu kasus. Menurut M. Yahya Harahap di dalam buku Hukum Acara Perdata (hal. 58), Posita/Fundamentum Petendi yang yang dianggap lengkap memenuhi syarat, memenuhi dua unsur yaitu dasar hukum (rechtelijke grond) dan dasar fakta (feitelijke grond).
    3.    Petitum
    Petitum berisi tuntutan apa saja yang dimintakan oleh penggugat kepada hakim untuk dikabulkan. Selain tuntutan utama, penggugat juga biasanya menambahkan dengan tuntutan subside atau pengganti seperti menuntut membayar denda atau menuntut agar putusan hakim dapat dieksekusi walaupun akan ada perlawanan di kemudian hari yang disebut dengan uitvoerbar bij voorrad. Sebagai tambahan informasi, Mahkamah Agung dalam SEMA No. 6 Tahun 1975 perihal Uitvoerbaar bij voorraad tanggal 1 Desember 1975 menginstruksikan agar hakim jangan secara mudah mengabulkan putusan yang demikian. Masih menurut Yahya Harahap (hal. 63), Supaya gugatan sah, dalam arti tidak mengandung cacat formil, harus mencantumkan petitum gugatan yang berisi pokok tuntutan penggugat, berupa deskripsi yang jelas menyebut satu per satu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan penggugat yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada tergugat.
    Mengutip artikel Mengajukan Replik Pada Sidang Cerai, urutan tahapan sidang perdata adalah
    Pembacaan gugatan  Jawaban  Replik  Duplik
    Setelah gugatan dibacakan oleh pihak penggugat, pihak tergugat akan membuat jawaban atas gugatan. Kemudian, pihak penggugat akan menjawab kembali jawaban yang disampaikan tergugat yang disebut dengan replik. Terhadap replik penggugat, tergugat akan kembali menanggapi yang disebut dengan duplik.
    Setelah proses jawab-menjawab (gugatan, jawaban, replik, duplik) sidang perkara perdata dilanjutkan dengan pembuktian (apabila dianggap perlu dapat pula dilakukan pemeriksaan setempat serta pemeriksaan ahli). Setelah tahap pembuktian, majelis hakim kemudian bermusyawarat untuk merumuskan putusan. Hakim tidak diizinkan menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang digugat (Pasal 178 HIR)
    Jadi, dalam hal ini posita adalah rumusan dalil dalam surat gugatan; petitum adalah hal yang dimintakan penggugat kepada hakim untuk dikabulkan; replik merupakan respon penggugat atas jawaban tergugat; sedangkan duplik merupakan jawaban tergugat atas replik dari penggugat.
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
    Dasar hukum:
    Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Herziene Indlandsch ReglementStaatsblad Nomor 44 Tahun 1941


Konvensi, rekonvensi, eksepsi, provisi


Sebenarnya istilah konvensi, rekonvensi, eksepsi, dan provisi tidak hanya ditemui dalam putusan arbitrase saja, tetapi juga dalam putusan perkara perkara perdata di pengadilan. Arbitrase pada dasarnya merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa perdata tetapi tidak melalui jalur pengadilan pada umumnya. Hal ini sesuai dengan pengertian arbitrase yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”) sebagai berikut:
"Arbitrase adalah cara penyelesaian perdata di luar peradilan umum yang dibuat berdasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa."
Oleh karena itu, istilah konvensi, rekonvensi, eksepsi, dan provisi yang dikenal dalam arbitrase juga sama dengan yang dikenal dalam proses penyelesaian perkara perdata di pengadilan. Selanjutnya, kami akan membahas pengertian istilah-istilah tersebut satu per satu.
Sebuah.     Rekonvensi
* Menurut M. Yahya Harahap hearts buku Hukum Acara Perdata TENTANG Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan (hal. 468) Istilah (Gugatan) rekonvensi diatur hearts Pasal 132a HIR Yang maknanya rekonvensi Adalah Gugatan Yang diajukan tergugat sebagai Gugatan Balasan Terhadap Gugatan yang meminta penggugat diundang. Dalam Penjelasan Pasal 132a HIR disebutkan, Oleh KARENA Bagi tergugat diberi kesempatan untuk review mengajukan Gugatan melawan, artinya. untuk menggugat kembali penggugat, maka tergugat tidak perlu meminta pertanggungan baru, akan tetapi cukup dengan memajukan gugatan pembalasan itu bersama-sama dengan membantah terhadap gugatan lawannya
b.     Cone
Istilah konvensi sebenarnya merupakan istilah untuk menyebut gugatan awal atau gugatan asli. Istilah ini memang jarang digunakan dibandingkan istilah gugatan karena istilah konvensi baru akan digunakan sebagai pengganti rekonvensi (gugatan balik tergugat untuk penggugat). Di dalam penjelasan Yahya Harahap (hal. 470), Anda dapat menemukan kompilasi penggugat asal (A) digugat balik oleh tergugat (B) maka gugatan A disebut gugatan konvensi dan gugatan balik B disebut gugatan rekonvensi.
c.     Eksepsi
Menurut Yahya Harahap (hal. 418), eksepsi pada umumnya berarti bebas, akan tetapi dalam konteks hukum acara, lengkap tangkisan atau bantahan yang diperuntukkan bagi hal-hal yang memerlukan persyaratan atau formalitas gugatan yang memungkinkan gugatan tidak dapat diterima. Tujuan utama pengajuan eksepsi yaitu agar proses pemeriksaan dapat berakhir tanpa lebih lanjut memperbarui pokok perkara. Eksepsi diatur hearts Pasal 136 Reglement Indonesia Yang Diperbaharui ( “HIR”).
d.     Provisi
Saudara tidak menanyakan lebih lanjut tentang ketentuan provisi, apakah gugatan provisi atau putusan provisi. Yahya Harahap (hal. 884) menjelaskan gugatan provisi yang meminta kepada hakim (dalam hal ini arbiter) agar ada tindakan sementara mengenai hal yang tidak termasuk pokok perkara, seperti memperbaharui pembangunan di tanah yang diperkarakan dengan bantuan membayat uang yang diminta. Bila dikabulkan, maka disebut putusan provisionil. Salah satu jenis putusan sela.
Di dalam penjelasan Pasal 185 HIR putusan ketentuan yaitu keputusan atas tanggapan di dalam hubungan pokok perkara dan pemeriksaan pemeriksaan pokok perkara itu, sementara diambil tindakan-tindakan pendahuluan untuk kefaedahan salah satu pihak atau ke dua pihak. Keputusan yang demikian banyak digunakan di dalam pemeriksaan singkat.
Putusan provisionil dalam aturan arbitrase dapat ditemui dalam Pasal 32 ayat (1) UU 30/1999 :
"Atas permintaan salah satu pihak, penengah atau majelis arbitrase dapat mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya untuk mendapat persetujuan jalannya memeriksa sengketa termasuk penetapan sita Pengasahan, unduh barang impor pihak, atau menjual barang yang mudah rusak."
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum :
1.     Reglement Indonesia Yang Diperbarui ( Regulasi Herziene Indlandsch ) Staatsblad Nomor 44 Tahun 1941
2.     Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Selasa, 15 Oktober 2019

Upaya Hukum dalam Hukum Acara Perdata


A. Pengertian
Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai tempat bagi pihak-pihak yang tidak puas dengan putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, tidak memenuhi rasa keadilan, karena hakim juga seorang manusia yang dapat melakukan kesalaha/kekhilafan sehingga salah memutuskan atau memihak salah satu pihak.

B. Macam Upaya Hukum
Upaya hukum dibedakan antara upaya hukum terhadap upaya hukum biasa dengan upaya hukum luar biasa.
1. Upaya hukum biasa
Merupakan upaya hukum yang digunakan untuk putusan yang belum berkekuatan hukum tetap. Upaya ini mencakup:
a. Perlawanan/verzet
b. Banding
c. Kasasi
Pada dasarnya menangguhkan eksekusi. Dengan pengecualian yaitu apabila putusan tersebut telah dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu atau uitboverbaar bij voorraad dalam pasal 180 ayat (1) HIR jadi meskipun dilakukan upaya hukum, tetap saja eksekusi berjalan terus.

2. Upaya hukum luar biasa
Dilakukan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pada asasnya upaya hukum ini tidak menangguhkan eksekusi. Mencakup:
a. Peninjauan kembali (request civil)
b. Perlawanan pihak ketiga (denderverzet) terhadap sita eksekutorial

Ad.1.a. Upaya Hukum Biasa: Perlawanan/verzet
Suatu upaya hukum terhadap putusan di luar hadirnya tergugat (putusan verstek). Dasar hukum verzet dapat dilihat di dalam pasal 129 HIR. Verzet dapat dilakukan dalam tempo/tenggang waktu 14 hari (termasuk hari libur) setelah putusan putusan verstek diberitahukan atau disampaikan kepada tergugat karena tergugat tidak hadir.
Syarat verzet adalah (pasal 129 ayat (1) HIR):
1. keluarnya putusan verstek
2. jangka waktu untuk mengajukan perlawanan adalah tidak boleh lewat dari 14 hari dan jika ada eksekusi tidak boleh lebih dari 8 hari; dan
3. verzet dimasukan dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah hukum dimana penggugat mengajukan gugatannya.

Ad.1.b. Upaya Hukum Biasa: Banding
Adalah upaya hukum yang dilakukan apabila salah satu pihak tidak puas terhadap putusan Pengadilan Negeri. Dasar hukumnya adalah UU No 4/2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Pokok Kekuasaan dan UU No 20/1947 tentang Peradilan Ulangan. Permohonan banding harus diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan (pasal 7 UU No 20/1947).
Urutan banding menurut pasal 21 UU No 4/2004 jo. pasal 9 UU No 20/1947 mencabut ketentuan pasal 188-194 HIR, yaitu:
1. ada pernyataan ingin banding
2. panitera membuat akta banding
3. dicatat dalam register induk perkara
4. pernyataan banding harus sudah diterima oleh terbanding paling lama 14 hari sesudah pernyataan banding tersebut dibuat.
5. pembanding dapat membuat memori banding, terbanding dapat mengajukan kontra memori banding.

Ad.1.c. Upaya Hukum Biasa: Kasasi
Menurut pasal 29 dan 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 kasasi adalah pembatalan putusan atas penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan akhir.
Putusan yang diajukan dalam putusan kasasi adalah putusan banding. Alasan yang dipergunakan dalam permohonan kasasi yang ditentukan dalam pasal 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 adalah:
1. tidak berwenang (baik kewenangan absolut maupun relatif) untuk melampaui batas wewenang;
2. salah menerapkan/melanggar hukum yang berlaku;
3. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Ad.2.a. Upaya Hukum Luar Biasa: Peninjauan Kembali
Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan huikum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkempentingan. [pasal 66-77 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004]
Alasan-alasan peninjauan kembali menurut pasal 67 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004, yaitu:
a. ada novum atau bukti baru yang diketahui setelah perkaranya diputus yang didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana yang dinyatakan palsu;
b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemuksn;
c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut/lebih daripada yang dituntut;
d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. apabila dalam satu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim/suatu kekeliruan yang nyata.
Tenggang waktu pengajuan 180 hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap. (pasal 69 UU 14/1985). Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir (pasal 70 UU no 14/1985).

Ad.2.b Upaya Hukum Luar Biasa: Denderverzet
Terjadi apabila dalam suatu putusan pengadilan merugikan kepentingan dari pihak ketiga, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut. Dasar hukumnya adalah 378-384 Rv dan pasal 195 (6) HIR.
Dikatakan sebagai upaya hukum luar biasa karena pada dasarnya suatu putusan hanya mengikat pihak yang berperkara saja (pihak penggugat dan tergugat) dan tidak mnegikat pihak ketiga (tapi dalam hal ini, hasil putusan akan mengikat orang lain/pihak ketiga, oleh ebab itu dikatakan luar biasa).
Denderverzet diajukan ke Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut pada tingkat pertama.

SUMBER : https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/2296/Upaya-Hukum-dalam-Hukum-Acara-Perdata.html

Senin, 07 Oktober 2019

BADAN PERADILAN UMUM DAN KHUSUS

A. Susunan Badan Peradilan Umum dan Khusus
Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan :
1.      Mahkaman Agung dan Badan Peradilan yang ada dibawahnya : Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer.
2.      Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
-       Menguji UU terhadap UUD
-       Memutuskan sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan UUD
-       Memutus pembubaran Partai Politik
-       Memutus sengketa hasil Pemilu.

(Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 ; Pasal 10 UU No. 4/2004; Pasal 12 UU No.4/2004; Pasal 2 UU NO.4/2004).

Kekuasaan Kehakiman (UU No. 4/2004
Pasal 1     :    Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka.
Pasal 4     :    Peradilan dilakukan “Demi keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Pasal 8     :    “Asas Praduga tak bersalah”
Pasal 10   :    Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan badan Peradilan yang ada dibawahnya dan oleh sebuah MK.
Pasal 12   :    MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
-     Menguji UU terhadap UUD 1945.
-     Memutus Sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara RI 1945.
-     Memutus pembubaran Parpol dan
-     Memutus Perselisihan tentang hasil Pemilu.
Pasal 16   :    Pengadilantidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa Hukum tidak atau kurang jela, melainkan wajib untuk memeriksa dan  mengadilinya.
Pasal 11   :    MA Berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah ayat 2.b UU terhadap UU.
Pasal 19   :    Sidang Pemeriksaan Pengadilanadalah terbuka untuk umum, kecuali UU menentukan lain.
Pasal 28   :    Hakim wajib Menggali,mengikuti dan memahami nilai-nilai Hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Pasal 20   :    Semua peraturan Peradilan hanya sah dan mempunyai kekuatan Hukum apabila di ucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Pasal 37   :    Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan Hukum.


B.   Kekuasan Peradilan Umum dan Khusus.
1.      Kekuasan Peradilan Umum (UU No.2/1986 & UU No. 8/2004
- Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh PengadilanTinggi (Pasal 3 UU No. 2/1986).
-    PengadilanNegeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama (Pasal 50 UU No. 2/1986).
-    PengadilanTinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perfata di tingkat banding (Pasal 51 (1) dan mengadili tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili  antara PN dan daerah hukumannya (Pasal 51 (2) UU No.2/1986).
2.      Kekuasaan PengadilanAgama (UU No. 7/1989 Jo, UU No.3/2006)
Pasal 49 UU No.3/2006 :
-   PengadilanAgama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang :
a. Perkawinan Perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-undang Perkawinan yang berlaku dan dilakukan menurut syari’ah (Penjelasan UU No. 3 Tahun 2006 Pasal 49).

b. Kewarisan : Waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan Pengadilanatas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.

c.  Wasiat : Wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga badan Hukum, yang berlaku setelah yang member tersebut meningal dunia.

d.Hibah : Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan Hukum kepada orang lain atas badan Hukum untuk dimiliki.

e.    Wakaf : Wakaf adalah perbuatan seorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.

f.     Zakat : Zakat adalahharta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan Hukum yang memiliki oleh orang islam sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada orang yang berhak menerimanya.

g.    Infaq : Infaq adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan risky (karuania) atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dank arena Allah S.W.T.
h.    Shodagoh dan
i.      Ekonomi Syari’ah.
 -     PengadilanTinggi Agama Kewenangannya diatur dalam Pasal 51 ayat 1 dan 2 UU No. 7/1989.
C.   Kekuasaan PengadilanTUN (UU No. 5/1986 & UU No. 9/2004)
-     Kewenangan PTUN diatur dalam Pasal 47 UU no. 5/1986 Sengketa TUN.
-     Kewenangan PTUN diatur dalam Pasal 51 UU no. 5/1986
D.   Kekuasaan Peradilan Militer.
-     UU No. 31 Tahun 1997
E.   Kekuasaan MA (UU No. 14/1985 Jo. UU No.5/2004)
-     MA Bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan :
1.  Permohonan Kasasi.
2.  Sengketa tetang kewenangan mengadili.
3. Permohonan meninjauh kembali putusan Pengadilanyang yelah memperoleh kekuatan Hukum tetap (Pasal 28 UU No.14/1985)
-     MA dalam tingkat kasasi membatalkan putusan datau penetapa Pengadilandari semua lingkungan peradilan karena :
1.  Tidak berwenang dan melampaui batas wewenang.
2.  Salah menerapkan atau melanggar Hukum yang berlaku.
3.  Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan (Pasal 30 ayat 1 UU No. 5/2004).
F.    Kompetensi/ Kewenangan Mengadili
Hukum Acara Perdata mengenal dua macam kewenangan yaitu :
1.      Kewenangan Mutlak/ Absolut.
2.      Kewenangan Relative/ NISBI Pasal 133 HIR, Pasal 159 RBg, Pasasl 136 HIR ataun 162 RBg, menyangkut pembagian kekuasaan mengadili antar Pengadilanyang serupa tergantung dari tempat tinggal tergugat, azasnya adalah yang berwenang adalah PengadilanNegeri tempat tinggal tergugat, azas ini dengan bahasa latin dikenal “Actor Sequitoir Forum Rei”.
Terhadap azas diatas terdapat beberapa pengecualian, misalnya yang terdapat dalam Pasal 118 HIR dan 142 RBg.
1.      P.N. tenpat kediaman Tergugat, bila tempat tingal tergugat tidak diketahui.
2.      Jika tergugat 2 orang atau lebih, gugat diajukan pada tempat tinggal salah satu tergugat, terserah pilih Penggugat.
3.      Akan tetapi dalam ad. 2 diatas, bila pihak tergugat ada 2 orang, yang seorang berhutang, dan yang lainnya penjaminnya, maka gugatan harus di P.N tempat tinggal yang berhutang.
4.      Bila tempat tingal dan tempat kediaman, tergugat tidak dikenal, gugatan diajukan kepada P.N tempat tinggal penggugat atau dari salah seorang dari Penggugat.
5.      Dalam ad.4 gugatan mengenai barang tetap, dapat juga diajukan melalui P.N dimana barang tetap itu terletak, hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 99 (8) RV dan Pasal 142 (5) RBg. Dalam hal gugat menyangkut barang tetap gugat diajukan di P.N di mana barang tersebut terletak.
6.      Bila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, gugatan diajukan sesuai dengan akta, bila penggugat mau, ia dapat mengajukan gugat di tempat tinggal tergugat.
Pengecualian lain misalnya yang terdapat :
1.      Pasal 21 BW, jika Tergugat tidak cakap, maka gugatan diajukan di P.N tempat tinggal orang tua, wali atau Pengampu, Pasal 20 BW, Jika tergugat PNS gugatan diajukan di P.N dimana ia bekerja atau dinas. Pasal 22 BW, gugatan terhadap buruh yang tinggal di rumah majikan, maka gugatan di ajukan di mana majikannya tinggal.
2.      Pasal 99 ayat 15 RV, Gugatan kepailitan diajukan di P.N yang menyatakan tergugat pailit.
3.      Pasal 99 ayat 14 RV, Gugatan Vrijwaring/ Penjaminan (Gugatan Interfensi) di ajukan di P.N yang sedang memeriksa gugatan asal.
4.      Pasal 38 ayat 1 dan 2 PP No. 9/1975 : Gugatan pembatalan perkawinan dapat diajukan di Pengadilantempat berlangsungnya perkawinan itu.
5.      Pasal 20 ayat 2 dan 3 Pp No. 9/1975 : Gugatan perceraian diajukan di P.N tempat tinggal penggugat, bila tergugat diam di liar negeri.
Pasal 17 BW :
-       Setiap orang dianggap punya tempat tinggalnya dimana ia menempatkan pusat kediamannya.
-       Dalam hal tak ada tempat, maka tempat kediaman sewajarnya dianggap sebagai tempat tinggal.
Pasal 118 ayat 1 HIR :
Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama, masuk kekuasaan P.N, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang di tandatangani oleh Penguggat atau oleh wakilnya menurut P{asal 123, kepada Ketua P.N didaerah Hukum siapa yang tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggalnya sebetulnya.
Pasal 66 (2) UU No.7/1989 :
-        Pengajuan cerai talaq diajukan ke Pengadilan tempat kediaman termohon, Pasal 73 (1) UU No.7/1989.
Pasal 73 (1) UU No.7/1989 :
-        Gugatan Perceraian/ cerai gugat diajukan kepada Pengadilan tempat kediaman tempat penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan kediamannya bersama tanpa ijin tergugat.