Hukum Acara Perdata Indonesia sampai kini masih tetap berpedoman sebagai
pedoman utama pada hukum acara perdata kolonial. Sumber hukum acara perdata adalah
tempat dimana dapat ditemukannya ketentuan-ketentuan hukum acara perdata.
Pengaturannya masih tersebar di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu :
1. HIR (Het Herziene Indonesche Reglement).
HIR sering diterjemahkan dengant RID ( Reglemen Indonesia yang Diperbaharui), S.
1848 nomor 16 jo. S.1941 nomor 44, yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura.
2. RBg (Het Rechtsreglement Buitengewesten), S. 1927 nomor 227.
RBg berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura.
3. Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering), S. 1847 nomor 52 dan S.1849 nomor
63. Rv lazim disebut dengan Reglemen Hukum Acara Perdata untuk Golongan Eropa.
4. BW (Kitab Undang Undang Hukum Perdata), khususnya Buku ke IV.
5. WvK (Kitab Undang Undang Hukum Dagang).
6. Berbagai Undang Undang yang berkaitan seperti:
a. UU tentang Peradilan Ulangan / Acara Banding ( UU Nomor 20/1947).
b. UU tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 48 / 2009).
c. UU tentang Peradilan Umum (UU Nomor 2 / 1986, jo. UU Nomor 8 / 2004, jis.
UU Nomor 49 / 2009).
d. UU tentang Mahkamah Agung ( UU Nomor 14 / 1985, jo. UU Nomor 5 / 2004,
jis
UU Nomor 3 / 2009).
e. UU tentang Advokat (UU Nomor 18 / 2003).
f. UU tentang Perkawinan (UU Nomor 1 / 1974) dan peraturan pelaksanaannya
seperti: PP Nomor 9 /1975 dan PP Nomor 10 / 1983.
3
g. UU tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang (UU Nomor 37/2004).
7. Yurisprudensi.
8. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).
9. Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).
10.Perjanjian Internasional.
11.Doktrin.
12.Adat Kebiasaan.
Asas Asas Hukum Acara Perdata
1. Hakim Bersifat Menunggu (iudex no procedat ex officio).
Asas ini dapat ditemukan pada pasal 10 ayat (1) UU No. 48 / 2009 dan pasal 142 RBg /
pasal 118 HIR. Pasal 142 ayat (1) RBg menentukan bahwa gugatan perdata dalam
tingkat pertama yang pemeriksaannya menjadi wewenang pengadilan negeri diajukan
oleh penggugat atau oleh seorang kuasanya.
Hakim bersifat menunggu artinya inisiatif pengajuan gugatan beasal dari penggugat,
hakim (pengadilan)hanya menunggu diajukannya tuntutan hak oleh penggugat. Yang
mengajukan tuntutan hak adalah pihak yang berkepentingan (Sudikno Mertokusumo,
1993: 10). Apabila tidak diajukannya gugatan atau tuntutan hak, maka tidak ada hakim.
Hakim baru bekerja setelah tuntutan diajukan kepadanya. Namun, apabila tuntutan atau
perkara diajukan kepadanya, maka pengadilan / hakim dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili dan memutus sustu perkara, dengan alasan bahwa hukum tidak
ada atau kurang jelas.
2. Hakim Bersifat Pasif (lijdelijkeheid van rechter).
Menurut Sudikno Mertokusumo, hakim didalam memeriksa perkara perdata bersikap
pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan
untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan
oleh hakim (Sudikno Mertokusumo, 1993: 11). Hakim hanya membantu para pencari
keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan cepat sederhana dan biaya ringan (pasal 4 ayat (2) UU No.
48/2009).
Asas hakim bersifat pasif ini mengandung beberapa makna, di ataranya :
a. Inisiatif untuk mengadakan acara perdata ada pada pihak-pihak yang
berkepentingan dan tidak pernah dilakukan oleh hakim.
b. Hakim wajib mengadili seluruh tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan
terhadap sesuatu yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang
dituntut (pasal 189 RBg / 178 HIR).
c. Hakim mengejar kebenaran formil, kebenaran yang hanya didasarkan kepada bukti-
bukti yang diajukan di depan sidang pengadilan tanpa harus disertai keyakinan
hakim.
d. Para pihak yang berperkara bebas pula untuk mengajukan atau untuk tidak
mengajukan upaya hukum, bahkan untuk mengakhiri perkara di pengadilan dengan
perdamaian (H. Riduan Syahrani, 2000: 18-19).
3. Persidangan Terbuka Untuk Umum (0penbaarheid van rechtspraak).
Pasal 13 ayat (1) UU no. 48/2009 tentang kekuasaan kehakiman menentukan : semua
sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang undang
menentukan lain.
Secara formal asas ini membuka kesempatan untuk “sosial kontrol” (H. Zainal Asikin,
2015: 11), untuk menjamin peradilan yang tidak memihak, adil, obyektif, berproses
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masyarakat secara umum
dapat hadir, mendengarkan dan menyaksikan jalannya persidangan yang dinyatakan
terbuka untuk umum, kecuali ditentukan lain oleh undang undang dan persidangan
dinyatakan dilakukan dengan pintu tertutup.
Asas ini bertujuan untuk memberi
perlindungan hak hak asasi manusia di bidang peradilan, sehingga terjadi pemeriksaan
yang fair dan obyektif dan didapat putusan yang obyektif.
Putusan pengadilan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Putusan
tidak sah dan batal demi hukum apabila tidak diucapkan dalam sidang yang terbuka
untuk umuum.
Audi Et Alteram Partem.
Asas ini tercermin dalam pasal 4 ayat (1) UU No. 48/2009, pasal 145 dan 157 RBg,
pasal 121 dan 132 HIR. Pengadilan harus memperlakukan kedua belah pihak sama,
memberi kesempatan yang sama kepada para pihak untuk memberi pendapatnya dan
tidak memihak. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang.
Pengadilan tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila
pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan
pendapatnya.
5. Putusan Harus Disertai Alasan (motivering plicht-voeldoende gemotiveerd).
Alasan tersebut dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim dari putusannya
terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi, ilmu hukum sehingga
oleh karenanya mempunyai nilai obyektif (Sudikno Mertokusumo, 1993: 14).
Kewajiban mencantumkan alasan alasan ditentukan dalam pasal 195 RBg, Pasal 184
HIR, pasal 50 dqn 53 UU No. 48/2009, pasal 68 A UU No. 49/2009.
Pasal 68 A UU No. 49/2009 menentukan :
1) Dalam memeriksa dan memutusrus bertanggungjawab atas penetapan dan
putusan yang dibuatnya.
2) Penetapan dan putusan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) harus
memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar
hukum yang tepat dan benar.
6. Beracara Dikenakan Biaya.
Hal ini dengan jelas tertuang dalam pasal 2 ayat (4) UU No. 48/2009, pasal 145 ayat (4),
pasal 192, pasal 194 RBg, pasal 121 ayat (4), pasal 182, pasal 183 HIR. Biaya perkara
ini dipakai untuk: biaya kepaniteraan, biaya panggilan, biaya pemberitahuan, biaya
materai, dan lain-lain biaya yang memang diperlukan seprti misalnya biaya
pemeriksaan setempat.
Namun, dimungkinkan bagi yang tidak mampu untuk berperkara secara “pro deo” atau
berperkara secara cuma-cuma sebagaimana yang diatur dalam pasal 273 RBg / 237 HIR,
yang menentukan : penggugat atau tergugat yang tidak mampu membayar biaya perkara
dapat diizinkan untuk berperkara tanpa biaya.
7. Trilogi Peradilan (Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan).
Asas ini tercantum dalam pasal 2 ayat (4) UU No. 48/2009.Sarwono menekankan pada
kata ”sederhana” dan “cepat”. Apabila “sederhana” dan “cepat” sudah dapat
diterapkan melalui tidakan teknis-konkrit persidangan maka biaya yang akan
dikeluarkan oleh para pihak akan semakin ringan.
Yang dimaksud dengan asas sederhana, cepat dan biaya ringan adalah hakim dalam
mengadili suatu perkara harus berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan
perkara dalam tempo yang tidak terlalu lama (Sarwono, 2011: 23 – 24). H.Zainal Asikin
menjelaskan ketiga kata itu sebagai antara lain sebagai berikut :
Yang dimaksud dengan
6
sederhana adalah acaranya jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Cepat
menunjuk jalannya peradilan yang cepat dan proses penyelesaiannya tidak berlarut larut
yang terkadang harus dilanjutkan oleh ahli warisnya. Sedangkan, biaya ringan
maksudnya biaya yang serendah mungkin sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat
(H Zainal Asikin, 2015: 14).
8. Asas Bebas Dari Campur Tangan Pihak Di Luar Pengadilan
Hakim dituntut sungguh-sungguh mandiri. Hakim mempunyai otonomi yang selalu
harus dijaga agar proses peradilan berjalan menuju sasaran: peradilan yang obyektif,
fair, jujur dan tidak memihak. Hakim tidak boleh terpengaruh oleh hal-hal di luar
pengadilan, seperti pengaruh uang, pengaruh kekerabatan, pengaruh kekuasaan dan lain
sebagainya.