Jumat, 27 September 2019

TATA URUTAN PERSIDANGAN PERKARA PERDATA GUGATAN DI PENGADILAN NEGERI


1.Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum;
2.Para pihak (penggugat dan tergugat) diperintahkan memasuki ruang sidang;
3.Para pihak diperiksa identitasnya (surat kuasanya), demikian pula diperiksa surat ijin praktik dari organisasi advokat;
4.Apabila kedua belah pihak lengkap maka diberi kesempatan untuk menyelesaikan dengan perkara secara damai;
5.Ditawarkan apakah akan menggunakan mediator dari lingkungan PN atau dari luar (lihat PERMA RI No.1 Tahun 2008);
6.Apabila tidak tercapai kesepakatan damai maka sidang dilanjutkan dengan pembacaan surat gugat oleh penggugat/kuasanya;
7.Apabila perdamaian berhasil maka dibacakan dalam persidangan dalam bentuk akta perdamaian yang bertitel DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YME;
8.Apabila tidak ada perubahan acara selanjutnya jawaban dari tergugat; (jawaban berisi eksepsi, bantahan, permohonan putusan provisionil, gugatan rekonvensi);
9.Apabila ada gugatan rekonvensi tergugat juga berposisi sebagai penggugat rekonvensi;
10.Replik dari penggugat, apabila digugat rekonvensi maka ia berkedudukan sebagai tergugat rekonvensi;
11.Pada saat surat menyurat (jawab jinawab) ada kemungkinan ada gugatan intervensi (voeging, vrijwaring, toesenkomst);
12.Sebelum pembuktian ada kemungkinan muncul putusan sela (putusan provisionil, putusan tentang dikabulkannya eksepsi absolut, atau ada gugat intervensi);
13.Pembuktian
14.Dimulai dari penggugat berupa surat bukti dan saksi;
15.Dilanjutkan dari tergugat berupa surat bukti dan saksi;
16.Apabila menyangkut tanah dilakukan pemeriksaan setempat;
17.Kesimpulan
18.Musyawarah oleh Majlis Hakim (bersifat rahasia);
19.Pembacaan Putusan;
20.Isi putusan: a. Gugatan dikabulkan, b. Gugatan ditolak, c. Gugatan tidak dapat diterima;
21.Atas putusan ini para pihak diberitahu hak-haknya apakah akan menerima, pikir-pikir atau akan banding. Apabila pikir-pikir maka diberi waktu selama 14 hari;
22.Dalam hal ada pihak yang tidak hadir maka diberitahu terlebih dahulu dan dalam waktu 14 hari setelah pemberitahuan diberi hak untuk menentukan sikap. Apabila waktu 14 hari tidak menentukan sikap maka dianggap menerima putusan.

Pengertian dan Dasar Hukum Mediasi

   Kata "mediasi" berasal dari bahasa Inggris, "mediation” yang artinya penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa secara menengahi, yang menengahinya dinamakan mediator atau orang yang menjadi penengah.
  Secara umum, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam menyelesaikan suatu perselisihan sebagai penasehat.20 Sedangkan pengertian perdamaian menurut hukum positif sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1851 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah suatu perjanjian dimana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikam atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara Kemudian.
  Dikenal juga dengan istilah dading yaitu suatu persetujuan tertulis secara damai untuk menyelesaikan atau memberhentikan berlangsungnya terus suatu perkara.22 Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang…..dan penjelasannya tidak ditemukan pengertian mediasi, namun hanya memberikan keterangan bahwa jika sengketa tidak mencapai kesepakatan maka sengketa bisa diselesaikan melalui penasehat ahli atau mediator.
  Dalam hukum islam, secara terminologi perdamaian disebut dengan istilah is}lah (as-sulh) yang menurut bahasa adalah memutuskan suatu persengketaan antara dua pihak. Dan menurut syara’ adalah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan antara dua pihak yang saling bersengketa.
  Sedangkan secara yuridis, pengertian mediasi hanya dapat dijumpai dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 dalam pasal 1 ayat 7, yang menyebutkan bahwa :
“Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
  Beberapa unsur penting dalam mediasi antara lain sebagai berikut: 
  1. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan.
  2. Mediator terlibat dan diterima para pihak yang bersengketa didalam perundingan.
  3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian.
  4. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan berlangsung.
  5. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.
Sebagai seorang mediator yang dituntut untuk mengedepankan negosiasi yang bersifat kompromis, hendaklah memiliki ketrampilanketrampilan khusus. ketrampilan khusus yang dimaksud ialah:
  • Mengetahui bagaimana cara mendengarkan para pihak yang bersengketa.
  • Mempunyai ketrampilan bertanya terhadap hal-hal yang dipersengketakan. 
  • Mempunyai ketrampilan membuat pilihan-pilihan dalam menyelesaikan sengketa yang hasilnya akan menguntungkan para pihak yang bersengketa (win-win solution). 
  • Mempunyai ketrampilan tawar menawar secara seimbang. 
  • Membantu para pihak untuk menemukan solusi mereka sendiri terhadap hal-hal yang dipersengketakan. 
  Dasar hukum perdamaian atau mediasi dalam Hukum Islam adalah sebagaimana firman Allah:  Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”.
  Dasar hukum mediasi di Indonesia adalah: 
  1. Pancasila dan UUD 1945, disiratkan dalam filosofinya bahwa asas penyelesaian sengketa adalah musyawarah untuk mufakat.
  2. HIR Pasal 130 (HIR= Pasal 154 RBg = Pasal 31 Rv) 3. UU Nomor. 1 Tahun 1974 jo Pasal 39 , UU Nomor.7 Tahun 1989 jo. UU nomor 3 Tahun 2006 jo. UU nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama Pasal 65 dan 82, PP Nomor. 9 Tahun 1975 Pasal 31 dan KHI Pasal 115, 131 ayat (2), 143 ayat (1) dan (2), dan 144.
  3. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor.1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 RBg).
  4. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor. 02 tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. 
  5. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor. 01 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. 
  6. Mediasi atau APS di luar Pengadilan diatur dalam Pasal 6 UU Nomor. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.  

Wanprestasi


   Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.1Wanprestasi atau tidak dipenuhinnya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. Seorang debitur dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan. Wanprestasi terdapat dalam pasal 1243 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa:

“penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”. 

  Kata lain wanprestasi juga dapat diartikan suatu perbuatan ingkar janji yang dilakukan oleh salah satu pihak yang tidak melaksanakan isi perjanjian, isi ataupun melaksanakan tetapi terlambat atau melakukan apa yang sesungguhnya tidak boleh dilakukannya. Mengenai pengertian dari wanprestasi, menurut Ahmadi Miru wanprestasi itu dapat berupa perbuatan : 
  1. Sama sekali tidak memenuhi prestasi.
  2.  Prestasi yang dilakukan tidak sempurna.
  3. Terlambat memenuhi prestasi.
  4. Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan. 
  Sedangkan menurut A. Qirom Syamsudin Meliala wanprestasi itu dapat berupa: 
  1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali. Sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasi maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
  2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya. Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktu, sehingga dapat dikatakan wanprestasi.
  3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

  Abdul kadir Muhammad, menyatakan wanprestasi terjadi dikarenakan adanya 2 (dua) kemungkinan yaitu: 
  1. Keadaan memaksa (overmach / force mejeur).
  2. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun lalai.                                
  Overmach adalah suatu keadaan atau kejadian yang tidak dapat diduga-duga terjadinya, sehingga menghalangi seorang debitur untuk melakukan prestasinya sebelum ia lalai untuk apa dan keadaan mana tidak dapat dipersalahkan kepadanya. Overmacht di bagi dua yaitu: 
  1. Overmacht mutlak adalah apabila prestasi sama sekali tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun. 
  2. Overmacht yang tidak mutlak adalah pelaksanaan prestasi masih dimungkinkan, hanya memerlukan pengobanan dari debitur. 
  Kesengajaan maupun lalai, kedua hal tersebut menimbulkan akibat yang berbeda, dimana akibat akibat adanya kesengajaan, sidebitur harus lebih banyak mengganti kerugian dari pada akibat adanya kelalaian. Surat peringatan yang menyatakan debitur telah melakukan wanprestasi disebut dengan somasi. 
   Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu.   Menurut Sri Soedewi Masyehoen Sofwan, debitur dinyatakan wanprestasi apabila memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu: 
  1. Perbuatan yang dilakukan debitur tersebut dalam disesalkan. 
  2. Akibatnya dapat diduga lebih dahulu baik dalam arti yang objektif yaitu orang yang normal dapat menduga bahwa keadaan itu akan timbul. Maupun dalam arti yang subjektif, yaitu sebagai orang yang ahli dapat menduga keadaan demikian akan timbul.
  3. Dapat diminta untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, artinya bukan orang gila atau lemah ingatan.
  Apabila seorang dalam keadaan-keadaan tertentu beranggapan bahwa perbuatan debiturnya akan merugikan, maka ia dapat minta pembatalan perikatan. Menurut pendapat yang paling banyak dianut, bukanlah kelalaian debitur yang menyebabkan batal, tetapi putusan hakim yang membatalkan perjanjian, sehingga putusan itu bersifat “constitutief” dan tidak “declaratoir”. Malahan hakim itu mempunyai suatu kekuasaan “discretionair” artinya ia berwenang menilai wanprestasi debitur. Apabila kelalaian itu dianggapnya terlalu kecil hakim berwenang untuk menolak pembatalan perjanjian, meskipun ganti rugi yang diminta harus diluluskan.

Senin, 23 September 2019

Sumber Hukum Acara Perdata dan Asas Hukum Acara Perdata


 
Hukum Acara Perdata Indonesia sampai kini masih tetap berpedoman sebagai pedoman utama pada hukum acara perdata kolonial. Sumber hukum acara perdata adalah tempat dimana dapat ditemukannya ketentuan-ketentuan hukum acara perdata. Pengaturannya masih tersebar di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu :
 1. HIR (Het Herziene Indonesche Reglement). HIR sering diterjemahkan dengant RID ( Reglemen        Indonesia yang Diperbaharui), S. 1848 nomor 16 jo. S.1941 nomor 44, yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura.
 2. RBg (Het Rechtsreglement Buitengewesten), S. 1927 nomor 227. RBg berlaku untuk daerah luar       Jawa dan Madura.
 3. Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering), S. 1847 nomor 52 dan S.1849 nomor 63. Rv lazim disebut dengan Reglemen Hukum Acara Perdata untuk Golongan Eropa.
 4. BW (Kitab Undang Undang Hukum Perdata), khususnya Buku ke IV.
 5. WvK (Kitab Undang Undang Hukum Dagang).
 6. Berbagai Undang Undang yang berkaitan seperti:
     a. UU tentang Peradilan Ulangan / Acara Banding ( UU Nomor 20/1947).
     b. UU tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 48 / 2009).
     c. UU tentang Peradilan Umum (UU Nomor 2 / 1986, jo. UU Nomor 8 / 2004, jis.
         UU Nomor 49 /  2009).
     d. UU tentang Mahkamah Agung ( UU Nomor 14 / 1985, jo. UU Nomor 5 / 2004, jis
         UU Nomor 3 / 2009).
     e. UU tentang Advokat (UU Nomor 18 / 2003).
     f. UU tentang Perkawinan (UU Nomor 1 / 1974) dan peraturan pelaksanaannya
         seperti: PP Nomor 9 /1975 dan PP Nomor 10 / 1983. 3
     g. UU tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang (UU Nomor 37/2004).
  7. Yurisprudensi.
  8. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).
  9. Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).
 10.Perjanjian Internasional.
 11.Doktrin.
 12.Adat Kebiasaan.

Asas Asas Hukum Acara Perdata

 1. Hakim Bersifat Menunggu (iudex no procedat ex officio).
     Asas ini dapat ditemukan pada pasal 10 ayat (1) UU No. 48 / 2009 dan pasal 142 RBg / pasal 118 HIR. Pasal 142 ayat (1) RBg            menentukan bahwa gugatan perdata dalam tingkat pertama yang pemeriksaannya menjadi wewenang pengadilan negeri diajukan oleh penggugat atau oleh seorang kuasanya. Hakim bersifat menunggu artinya inisiatif pengajuan gugatan beasal dari penggugat, hakim (pengadilan)hanya menunggu diajukannya tuntutan hak oleh penggugat. Yang mengajukan tuntutan hak adalah pihak yang berkepentingan (Sudikno Mertokusumo, 1993: 10). Apabila tidak diajukannya gugatan atau tuntutan hak, maka tidak ada hakim. Hakim baru bekerja setelah tuntutan diajukan kepadanya. Namun, apabila tuntutan atau perkara diajukan kepadanya, maka pengadilan / hakim dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus sustu perkara, dengan alasan bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas.

2. Hakim Bersifat Pasif (lijdelijkeheid van rechter).
    Menurut Sudikno Mertokusumo, hakim didalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim (Sudikno Mertokusumo, 1993: 11). Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan cepat sederhana dan biaya ringan (pasal 4 ayat (2) UU No. 48/2009).
   Asas hakim bersifat pasif ini mengandung beberapa makna, di ataranya :
 a. Inisiatif untuk mengadakan acara perdata ada pada pihak-pihak yang berkepentingan dan tidak pernah dilakukan oleh hakim.
 b. Hakim wajib mengadili seluruh tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut (pasal 189 RBg / 178 HIR).
 c. Hakim mengejar kebenaran formil, kebenaran yang hanya didasarkan kepada bukti- bukti yang diajukan di depan sidang pengadilan tanpa harus disertai keyakinan hakim.
 d. Para pihak yang berperkara bebas pula untuk mengajukan atau untuk tidak mengajukan upaya hukum, bahkan untuk mengakhiri perkara di pengadilan dengan perdamaian (H. Riduan Syahrani, 2000: 18-19).

 3. Persidangan Terbuka Untuk Umum (0penbaarheid van rechtspraak).
     Pasal 13 ayat (1) UU no. 48/2009 tentang kekuasaan kehakiman menentukan : semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang undang menentukan lain. Secara formal asas ini membuka kesempatan untuk “sosial kontrol” (H. Zainal Asikin, 2015: 11), untuk menjamin peradilan yang tidak memihak, adil, obyektif, berproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masyarakat secara umum dapat hadir, mendengarkan dan menyaksikan jalannya persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum, kecuali ditentukan lain oleh undang undang dan persidangan dinyatakan dilakukan dengan pintu tertutup.
   Asas ini bertujuan untuk memberi perlindungan hak hak asasi manusia di bidang peradilan, sehingga terjadi pemeriksaan yang fair dan obyektif dan didapat putusan yang obyektif.
Putusan pengadilan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Putusan tidak sah dan batal demi hukum apabila tidak diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umuum.
 Audi Et Alteram Partem. Asas ini tercermin dalam pasal 4 ayat (1) UU No. 48/2009, pasal 145 dan 157 RBg, pasal 121 dan 132 HIR. Pengadilan harus memperlakukan kedua belah pihak sama, memberi kesempatan yang sama kepada para pihak untuk memberi pendapatnya dan tidak memihak. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang. Pengadilan tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya.

 5. Putusan Harus Disertai Alasan (motivering plicht-voeldoende gemotiveerd).
    Alasan tersebut dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim dari putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi, ilmu hukum sehingga oleh karenanya mempunyai nilai obyektif (Sudikno Mertokusumo, 1993: 14). Kewajiban mencantumkan alasan alasan ditentukan dalam pasal 195 RBg, Pasal 184 HIR, pasal 50 dqn 53 UU No. 48/2009, pasal 68 A UU No. 49/2009. Pasal 68 A UU No. 49/2009 menentukan :
 1) Dalam memeriksa dan memutusrus bertanggungjawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.
 2) Penetapan dan putusan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.

 6. Beracara Dikenakan Biaya.
    Hal ini dengan jelas tertuang dalam pasal 2 ayat (4) UU No. 48/2009, pasal 145 ayat (4), pasal 192, pasal 194 RBg, pasal 121 ayat (4), pasal 182, pasal 183 HIR. Biaya perkara ini dipakai untuk: biaya kepaniteraan, biaya panggilan, biaya pemberitahuan, biaya materai, dan lain-lain biaya yang memang diperlukan seprti misalnya biaya pemeriksaan setempat. Namun, dimungkinkan bagi yang tidak mampu untuk berperkara secara “pro deo” atau berperkara secara cuma-cuma sebagaimana yang diatur dalam pasal 273 RBg / 237 HIR, yang menentukan : penggugat atau tergugat yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat diizinkan untuk berperkara tanpa biaya.
 7. Trilogi Peradilan (Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan).
     Asas ini tercantum dalam pasal 2 ayat (4) UU No. 48/2009.Sarwono menekankan pada kata ”sederhana” dan “cepat”. Apabila “sederhana” dan “cepat” sudah dapat diterapkan melalui tidakan teknis-konkrit persidangan maka biaya yang akan dikeluarkan oleh para pihak akan semakin ringan. Yang dimaksud dengan asas sederhana, cepat dan biaya ringan adalah hakim dalam mengadili suatu perkara harus berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan perkara dalam tempo yang tidak terlalu lama (Sarwono, 2011: 23 – 24). H.Zainal Asikin menjelaskan ketiga kata itu sebagai antara lain sebagai berikut :
Yang dimaksud dengan 6 sederhana adalah acaranya jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Cepat menunjuk jalannya peradilan yang cepat dan proses penyelesaiannya tidak berlarut larut yang terkadang harus dilanjutkan oleh ahli warisnya. Sedangkan, biaya ringan maksudnya biaya yang serendah mungkin sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat (H Zainal Asikin, 2015: 14).
 8. Asas Bebas Dari Campur Tangan Pihak Di Luar Pengadilan
     Hakim dituntut sungguh-sungguh mandiri. Hakim mempunyai otonomi yang selalu harus dijaga agar proses peradilan berjalan menuju sasaran: peradilan yang obyektif, fair, jujur dan tidak memihak. Hakim tidak boleh terpengaruh oleh hal-hal di luar pengadilan, seperti pengaruh uang, pengaruh kekerabatan, pengaruh kekuasaan dan lain sebagainya.



PENGERTIA HUKUM ACARA PERDATA

 
   Menurut fungsinya, hukum dibedakan menjadi hukum materiil dan hukum formil atau hukum acara. Hukum acara perdata adalah hukum perdata formil, yang pada dasarnya berfungsi mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil melalui pengadilan apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum perdata materiil atau terjadi sengketa. Bahkan hukum acara perdata juga mengatur bagaimana tata cara memperolah hak dan kepastian hukum manakala tidak terjadi sengketa melalui pengajuan “permohonan” ke pengadilan.Namun demikian, secara umum hukum acara perdata mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui hakim di pengadilan penyusunan gugatan, pengajuan gugatan, pemeriksaan gugatan, putusan pengadilan sampai dengan eksekusi atau pelaksanaan putusan pengadilan.
        Berikut ini dikutip beberapa definisi hukum acara perdata;
 • Sudikno Mertokusumo mendifinisikan hukum acara perdata sebagai peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim (Sudikno Mertokusumo, 1993: 19).
• Menurut Wiryono Prodjodikoro, hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, semuanya itu untuk melaksanakan peraturan hukum perdata (Wiryono Prodjodikoro, 1972 :12).
• Abdulkadir Muhammad merumuskan hukum acara perdata sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui pengadilan (hakim), sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim (Abdulkadir Muhammad, 2000 : 15).
• Retno Wulan S dan Iskandar O memberi pengertian hukum acara perdata sebagai semua kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil (Retno Wulan S dan Iskandar O, 1983: 1-2.).
     Sehingga, secara garis-garis besar tahapan-tahapan peradilan perdata meliputi:
 1. Pengajuangugatan;
 2. Pemeriksaan gugatan;
 3. Pembuktian;
 4. Putusan;
 5. Upaya upaya hukum terhadap putusan ;dan
 6. Eksekusi.