Minggu, 22 Desember 2019

Sanksi Hukum (Pidana, Perdata, dan Administratif)


Berita · Pusat Data · Jurnal · Klinik · Events · Produk · Pro

Sanksi Hukum (Pidana, Perdata, dan Administratif)
https://images.hukumonline.com/frontend/lt4b9a1eb24a495/lt4f82909856ae8.jpg
Shanti Rachmadsyah, S.H.
Ilmu Hukum
Bung Pokrol
Rabu, 26 May 2010

Pertanyaan
Bung Pokrol saya mau tanya. Apa arti dari sanksi hukum dan apa saja sanksi hukum yang ada di Indonesia? Tolong penjelasannya ya. Terima kasih.


Punya pertanyaan lain ?
Silakan Login, atau Daftar ID anda.
Kirim Pertanyaan

Ulasan Lengkap
Menurut “Black's Law Dictionary Seventh Edition”, sanksi (sanction) adalah:


“A penalty or coercive measure that results from failure to comply with a law, rule, or order (a sanction for discovery abuse)”


Di Indonesia, secara umum, dikenal sekurang-kurangnya tiga jenis sanksi hukum yaitu:


sanksi hukum pidana
sanksi hukum perdata
sanksi administrasi/administratif


Dalam hukum pidana, sanksi hukum disebut hukuman. Menurut R. Soesilo, hukuman adalah:


“Suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana”


Hukuman sendiri diatur dalam pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:


Hukuman pokok, yang terbagi menjadi:

a) hukuman mati

b) hukuman penjara

c) hukuman kurungan

d) hukuman denda


Hukuman-hukuman tambahan, yang terbagi menjadi:

a) pencabutan beberapa hak yang tertentu

b) perampasan barang yang tertentu

c) pengumuman keputusan hakim



Dalam hukum perdata, putusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat berupa:


1. putusan condemnatoir yakni putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi (kewajibannya). Contoh: salah satu pihak dihukum untuk membayar kerugian, pihak yang kalah dihukum untuk membayar biaya perkara

2. putusan declaratoir yakni putusan yang amarnya menciptakan suatu keadaan yang sah menurut hukum. Putusan ini hanya bersifat menerangkan dan menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata. Contoh: putusan yang menyatakan bahwa penggugat sebagai pemilik yang sah atas tanah sengketa

3. putusan constitutif yakni putusan yang menghilangkan suatu keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. Contoh: putusan yang memutuskan suatu ikatan perkawinan.


Jadi, dalam hukum perdata, bentuk sanksi hukumnya dapat berupa:


kewajiban untuk memenuhi prestasi (kewajiban)
hilangnya suatu keadaan hukum, yang diikuti dengan terciptanya suatu keadaan hukum baru

Sedangkan untuk sanksi administrasi/administratif, adalah sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran administrasi atau ketentuan undang-undang yang bersifat administratif. Pada umumnya sanksi administrasi/administratif berupa;

- denda (misalnya yang diatur dalam PP No. 28 Tahun 2008),

- pembekuan hingga pencabutan sertifikat dan/atau izin (misalnya yang diatur dalam Permenhub No. KM 26 Tahun 2009),

- penghentian sementara pelayanan administrasi hingga pengurangan jatah produksi (misalnya yang diatur dalam Permenhut No. P.39/MENHUT-II/2008 Tahun 2008),

- tindakan administratif (misalnya yang diatur dalam Keputusan KPPU No. 252/KPPU/KEP/VII/2008 Tahun 2008)


Demikian uraian singkat kami. Semoga bermanfaat.


Dasar hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2008 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda

3. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.39/MENHUT-II/2008 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan

4. Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 252/KPPU/KEP/VII/2008 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

5. Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 26 Tahun 2009 tentang Sanksi Administratif Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Bidang Keselamatan Penerbangan

Hukum perdata

yang salah dan dapat dipertanggungjawabkan;
perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum; dan
harus ada ancaman hukuman untuk perbuatan tersebut.
Hukum Perdata
Sebagai makhluk sosial, keberadaan hukum perdata dimaksudkan untuk mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam memenuhi kepentingannya. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan yang ada di dalam hukum perdata hanya akan berdampak langsung pada pihak-pihak yang terlibat.
Di Indonesia sendiri, yang termasuk dalam hukum perdata terdiri atas hukum perdata adat, hukum perdata Eropa, dan hukum perdata yang bersifat nasional. Adapun dalam perumusannya, hukum perdata juga terbagi menjadi hukum perdata materiil dan hukum perdata formal.

Hukum perdata materiil merupakan hukum yang berisi ketentuan-ketentuan yang mengatur kepentingan perseorangan, yakni sebagai berikut.
Hukum pribadi (personenrecht)
Hukum yang berisi ketentuan dan peraturan soal hak dan kewajiban manusia dalam bertindak sebagai subjek hukum.

Hukum keluarga (familierecht)
Hukum yang berisi ketentuan dan peraturan tentang hal-hal terkait kekeluargaan: hubungan lahir dan batin antara pihak-pihak yang terlibat perkawinan (suami dan istri serta anak). Hal-hal yang menjadi cakupan hukum keluarga adalah keturunan, kekuasaan orang tua, perwalian, pendewasaan, pengampunan (curatele), dan perkawinan.

Hukum kekayaan (vermogensrecht)
Hukum yang berisi ketentuan dan peraturan tentang hak-hak perolehan seseorang dalam kaitannya dengan orang lain yang memiliki nilai uang (hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang). Bila membahas tentang kekayaan seseorang, maka yang dimaksud adalah jumlah dari hak dan kewajiban orang tersebut yang dinilai dengan uang.

Hukum waris (erfecht)Hukum yang berisi ketentuan dan peraturan tentang pemindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada pihak-pihak lain yang berhak menerima hak tersebut.
Hukum perdata formal adalah sekumpuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan sanksi bagi para pelaku yang melanggar hak-hak keperdataan sesuai yang dimaksud dalam hukum perdata materiil.
Dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (KUHPerdata), sebuah tindakan dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum apabila mengandung unsur-unsur berikut:

adanya suatu perbuatan;
perbuatan tersebut melawan hukum sesuai hukum perdata materiil;
adanya kesalahan pelaku;
adanya kerugian yang dialami korban; dan
adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.

Hukum perdata khusus

Hukum Perdata Khusus adalah Hukum perdata berdasarkan KUHD.
Hukum dagang merupakan bagian dari hukum perdata atau dengan kata lain hukum dagang merupakan perluasan dari hukum perdata khususnya apa yang diatur dalam Buku III tentang Perikatan, dimana Hukum Dagang merupakan perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan.
Hukum Dagang merupakan hukum khusus (lex specialis) dan Hukum Perdata merupakan hukum umum (lex generalis), dan dari hubungan kelompok hukum ini berlakulah asas lex specialis derogat legi generalis (hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum), dengan kata lain terhadap dunia usaha ataupun kegiatan usaha jika sudah diatur dalam KUHD, maka ketentuan KUHPerdata tidak berlaku dan sebaliknya jika kegiatan dunia usaha belum diatur dalam KUHD, berlaku ketentuan dalam KUH Perdata. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 KUHD:
“Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seberapa jauh dalam Kitab Undang-Undang ini (KUHD) tidak khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang disinggung dalam Kitab ini (KUHD).”
–     Diluar KUHD terdapat ketentuan hukum perdata yang berlaku khusus seperti dalam UU kepailitan, UU Persaingan Usaha, UU Ketenagakerjaan, UU Hak Cipta, dan lain sebagainya.

Ketentuan sita jaminan terdapat pada pasal 227 HIR (RIB-S.1941 No. 44).

Pada ayat (1) pasal 227 tersebut, dinyatakan bahwa: Jika terdapat persangkaan yang beralasan, bahwa seorang yang berhutang, selagi belum dijatuhkan keputusan atasnya, atau selagi putusan yang mengalahkannya belum dapat dijalankan, mencari akal akan menggelapkan atau membawa barangnya baik yang tidak tetap maupun yang tetap dengan maksud akan menjauhkan barang barang itu dari penagih hutang, maka atas surat permintaan orang yang berkepentingan ketua pengadilan negeri dapat memberi perintah, supaya disita barang itu untuk menjaga hak orang yang memasukkan permintaan itu, dan kepada peminta harus diberitahukan akan menghadap persidangan pengadilan negeri yang pertama sesudah itu untuk memajukan dan menguatkan gugatannya.

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus memahami terlebih dahulu tujuan dari dikeluarkannya perintah sita jaminan. Pada pasal tersebut jelas tertulis tujuannya adalah untuk menjaga hak orang yang memasukkan permintaan�.

Siapakah pihak dan apa hak yang dimaksudkan diatas? Pihak yang dimaksudkan ketentuan pasal tersebut adalah Pihak yang memiliki piutang (kreditur) terhadap pihak yang dimintakan sita jaminan. Sedangkan hak yang dimaksudkan pada pasal tersebut adalah hak kreditur, baik sebagai kreditur biasa ataupun kreditur yang diistimewakan.

Untuk memahami hak tersebut maka kita harus melihat ketentuan pasal 1131 BW yang menyatakan bahwa, setiap kreditur mempunyai hak jaminan atas piutangnya berupa segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari.

Jaminan berdasar pasal 1131 BW tersebut bersifat umum, berlaku untuk seluruh kreditur. Sedangkan pasal 1132 BW, menyatakan diperbolehkannya hak jaminan yang bersifat istimwa dan didahulukan, misalnya dalam bentuk Hak Tanggungan, yang dahulu dikenal dengan Hipotik.

Dengan demikian jelaslah, bahwa setiap kreditur memiliki hak jaminan atas piutangnya, baik yang berupa jaminan umum ataupun dapat pula jaminan yang bersifat istimewa dan didahulukan.

Kembali kepada tujuan dari sita jaminan yang sudah kita bahas diatas. Tujuannya adalah untuk ..menjaga hak� bukan menciptakan atau memberikan hak baru. Dengan demikian, oleh karena keseluruhan harta debitur, baik yang bergerak ataupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan ada adalah jaminan untuk keseluruhan kreditur, maka setiap kreditur berhak untuk mengajukan permohonan sita jaminan atas keseluruhan harta debitur baik yang telah dijaminan secara istimewa dan didahulukan ataupun tidak.

Dengan demikian, seorang kreditur yang tidak memiliki jaminan istimewa dan didahulukan, tetap dapat mengajukan permohonan sita jaminan atas harta debitur, baik yang telah dijaminan secara istimewa dan didahulukan kepada pihak lain (bank) ataupun tidak. Tetapi penetapan sita jaminan tersebut tidak merubah kedudukan kreditur tersebut terhadap benda yang disita jaminankan.

PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Pendaftaran Perdamaian di Luar Pengadilan

Mahakamah Agung (MA) membentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 yang merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari pasal 130 dan 131 HIR, yang secara tegas mengintegrasikan proses mediasi kedalam proses beracara di pengadilan. Sifat memaksa PERMA tersebut, tercermin dalam pasal 12 ayat (2), dimana dijelaskan bahwa pengadilan baru diperbolehkan memeriksa perkara melalui hukum acara perdata biasa apabila proses mediasi gagal menghasilkan kesepakatan.

Menurut PERMA, MEDIASI merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan yang dilakukan melalui perundingan diantara pihak-pihak yang berperkara. Perundingan itu dibantu oleh mediator yang berkedudukan dan berfungsi sebagai pihak ketiga yang netral. Mediator berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang sebaik-baiknya dan saling menguntungkan. Mediator yang mendamaikan itu dapat berasal dari mediator pengadilan maupun mediator luar pengadilan. Dari manapun asalnya, mediator harus memenuhi syarat memiliki sertifikat mediator.

Menurut pasal 13 PERMA, jika mediasi gagal, maka terhadap segala sesuatu yang terjadi selama proses mediasi tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti. Selain semua dokumen wajib dimusnahkan, mediator juga dilarang menjadi saksi atas perkara tersebut – pihak yang tidak cakap menjadi saksi. Pernyataan maupun pengakuan yang timbul dalam proses mediasi, tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti persidangan perkara yang bersangkutan maupun perkara lain. Penggunaannya dalam persidangan menjadi tidak sah dan tidak memiliki kekuatan bukti.

Kekuatan Hukum Akta Perdamaian.

Disamakan kekuatannya dengan Putusan Yang Berkekuatan Hukum Tetap
Menurut pasal 130 ayat (2) HIR, akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap – dan terhadapnya tidak dapat diajukan banding maupun kasasi.
Mempunyai Kekuatan Eksekutorial
Karena telah berkekuatan hukum tetap, akta perdamaian tersebut langsung memiliki kekuatan eksekutorial. Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan, maka dapat dimintakan eksekusi kepada pengadilan.
Putusan Akta Perdamaian Tidak Dapat Dibanding
Karena berkekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi, maka terhadap akta perdamaian tidak dapat diajukan banding maupun kasasi.

perbedaan dan ketetuan perkawian yang terdapat dalam BW dan UU No. 1 Tahun 1974

  1. Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia
Dasar hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia, antara lain:
  1. Buku I KUHPerdata, yaitu BAB IV sampai dengan BAB XI
  2. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
  3. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
  4. Peraturan Pemeritah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
  5. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Pasal 1-170 KHI)

  1. Pengertian Perkawinan
Menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 194 Tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seoarang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 ayat 1 disebutkan, bahwa perkawinan adalah Sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. Selain pengertian tersebut, terdapat pengertian perkawinan menurut beberapa ahli, antara lain:
  1. Menurut Prof. Subekti, S.H, Perkawinan adalah pertalian yang sah natar seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
  2. Menurut Prof. Ali Afandi, S.H, Perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan.
  3. Menurut Prof. Soedirman Kartohadiprodjo, S.H, Perkawinan adalah hubungan antara seorang wanita dan pria yang bersifat abadi.
Dari uraian diatas, maka pemakalah dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga dalam jangka waktu yang lama. Adapun yang dimaksud dengan Hukum Perkawinan adalah hukum yang mengatur mengenai syarat-syarat dan cara melangsungkan perkawinan, beserta akibat-akibat hukum bagi pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut.
  1. Ketentuan Perkawinan dalam BW dan UU No. 1 Tahun 1974
No
Ketentuan
BW
UU No.1 Tahun 1974



1.



Arti Perkawinan
“Suatu persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui sah oleh UU/ Peraturan negara yang bertujuan untuk menyelenggarakan kesatuan hidup yang abadi.”
Pasal 1 “Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang wanita sebagai suami istri yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekeal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”


2


Syarat-syarat sah Perkawinan
  1. Berlaku asas monogami (Pasal 27 KUHPer)
  2. Adanya kebebasan kata sepakat antara kedua calon suami-istri (Pasal 28 KUHper)
  3. Seorang pria sudah berusia 18 tahun dan wanita berusia 15 tahun (Pasal 29 KUHPer)
  4. Ada masa tunggu bagi seorang wanita yang bercerai, yaitu 300 hari sejak perkawinan terakhir dibubarkan (Pasal 34 KUHPer)
  1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu (Pasal 2 UUP)
  2. Di jelaskan pada Pasal 6 ayat (1) sampai (6)
  3. Ketentuan dalam Pasal 7 UUP disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai usia 19 tahun dan wanita sudah sampai usia 16 tahun. 





3.





Konsep Perkawinan
Hanya dipandang dari segi keperdataan saja, artinya undang-undang melihat perkawinan itu sah dan syarat-syaratnya terpenuhi.
Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, ada 4 unsur perkawinan, yaitu:
  1. Adanya ikatan laki-laki dan wanita sebagai suami-istri
  2. Ikatan lahir dan batin
  3. Membentuk rumah tangga yan bahagia dan kekal
  4. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

4.

Hak dan kewajiban suami-istri
  1. Suami dan istri harus tolong-menolong dan bantu-membantu (Pasal 103 KUHPer)
  2. Memelihara dan mendidik anaknya (Pasal 104 KUHPer)
  3. Setiap istri harus tunduk dan patuh kepada suaminya (Pasal 106 KUHPer)
Hak dan kewajiban dari suami-istri diatur dalam pasal 30 sampai dengan pasal 34, yaitu:
  1. Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tanga yang menajdi sendi dasar dari susunan masyarakat
  2. Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga
  3. Suami-istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain
  4. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
5.
Akibat perkawinan terhadap keturunan anak
Pasal 250 KUHPer, “Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya (tentang anak sah)
Anak sah menurut Pasal 42 UU No.1 Tahun 1974, “Anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.”

6.

Larangan Perkawinan
Dalam KUHPer dijelaskan pada Pasal 30 sampai Pasal 33
Menurut UU No.1 Tahun 1974 larangan perkawinan diatur dalam Pasal 8 






7.






Putusnya Perkawinan
Pasal 199 KUHPer perkwinan bubar, karena: 
  1. Kematian
  2. Kepergian suami atau istri selama 10 tahun dan diikuti dengan perkawinan baru dengan orang lain
  3. Karena purtusan hakim setelah adanya perpisahan meja makan dan tempat tidur selama 5 tahun
Menurut Pasal 38, perkawinan dapat putus karena:
  1. Kematian
  2. Perceraian 
  3. Dan putusan pengadilan



8.









Perceraian


Perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan karena sesuatu sebab dengan keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam perkawinan.

Alasan perceraian diatur dalam Pasal 209 KUHPer:

  1. Zina
  2. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat selama 5 tahun
  3. Penganiayaan berat, yang dilakuakn suami terhadap istri atau sebaliknya, sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya.


Menurut Pasal 19 PP No. 9/1975, bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan:

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau pemabok, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkn
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
  3. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri
  4. Antar suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam berumah tangga.





9.






Perkawinan di Luar Indonesia
Perkawinan-perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, baik antara sesama warga negara Indonesia, maupun antara warga negara Indonesia dengan warga negara lain, adalah sah apabila perkawinan itu dilangsungkan menurut cara yang biasa di negara tempat berlangsungnya perkawinan itu, dan suami istri yang warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan (Pasal 83 KUHPer)

Dalam kurun watu satu tahun setelah suami-istri pulang kembali di wilayah Indonesia, akta tentang perkawinan mereka di luar Indonesia harus di pindahbukukan dalam register kawin umum di tempat tinggal mereka (Pasal 84 KUHPer) 
Hal ini diatur dalam Pasal 56 ayat (1), perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, baik antara sesama warga negara Indonesia, maupun antara warga negara Indonesia dengan warga negara lain, adalah sah apabila perkawinan itu dilangsungkan menurut cara yang biasa di negara tempat berlangsungnya perkawinan itu, dan suami istri yang warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan

Pasal 56 ayat (2), dalam waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkwinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.



  1. Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia
Dasar hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia, antara lain:
  1. Buku I KUHPerdata, yaitu BAB IV sampai dengan BAB XI
  2. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
  3. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
  4. Peraturan Pemeritah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
  5. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Pasal 1-170 KHI)

  1. Pengertian Perkawinan
Menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 194 Tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seoarang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 ayat 1 disebutkan, bahwa perkawinan adalah Sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. Selain pengertian tersebut, terdapat pengertian perkawinan menurut beberapa ahli, antara lain:
  1. Menurut Prof. Subekti, S.H, Perkawinan adalah pertalian yang sah natar seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
  2. Menurut Prof. Ali Afandi, S.H, Perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan.
  3. Menurut Prof. Soedirman Kartohadiprodjo, S.H, Perkawinan adalah hubungan antara seorang wanita dan pria yang bersifat abadi.
Dari uraian diatas, maka pemakalah dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga dalam jangka waktu yang lama. Adapun yang dimaksud dengan Hukum Perkawinan adalah hukum yang mengatur mengenai syarat-syarat dan cara melangsungkan perkawinan, beserta akibat-akibat hukum bagi pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut.
  1. Ketentuan Perkawinan dalam BW dan UU No. 1 Tahun 1974
No
Ketentuan
BW
UU No.1 Tahun 1974



1.



Arti Perkawinan
“Suatu persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui sah oleh UU/ Peraturan negara yang bertujuan untuk menyelenggarakan kesatuan hidup yang abadi.”
Pasal 1 “Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang wanita sebagai suami istri yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekeal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”


2


Syarat-syarat sah Perkawinan
  1. Berlaku asas monogami (Pasal 27 KUHPer)
  2. Adanya kebebasan kata sepakat antara kedua calon suami-istri (Pasal 28 KUHper)
  3. Seorang pria sudah berusia 18 tahun dan wanita berusia 15 tahun (Pasal 29 KUHPer)
  4. Ada masa tunggu bagi seorang wanita yang bercerai, yaitu 300 hari sejak perkawinan terakhir dibubarkan (Pasal 34 KUHPer)
  1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu (Pasal 2 UUP)
  2. Di jelaskan pada Pasal 6 ayat (1) sampai (6)
  3. Ketentuan dalam Pasal 7 UUP disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai usia 19 tahun dan wanita sudah sampai usia 16 tahun. 





3.





Konsep Perkawinan
Hanya dipandang dari segi keperdataan saja, artinya undang-undang melihat perkawinan itu sah dan syarat-syaratnya terpenuhi.
Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, ada 4 unsur perkawinan, yaitu:
  1. Adanya ikatan laki-laki dan wanita sebagai suami-istri
  2. Ikatan lahir dan batin
  3. Membentuk rumah tangga yan bahagia dan kekal
  4. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

4.

Hak dan kewajiban suami-istri
  1. Suami dan istri harus tolong-menolong dan bantu-membantu (Pasal 103 KUHPer)
  2. Memelihara dan mendidik anaknya (Pasal 104 KUHPer)
  3. Setiap istri harus tunduk dan patuh kepada suaminya (Pasal 106 KUHPer)
Hak dan kewajiban dari suami-istri diatur dalam pasal 30 sampai dengan pasal 34, yaitu:
  1. Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tanga yang menajdi sendi dasar dari susunan masyarakat
  2. Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga
  3. Suami-istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain
  4. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
5.
Akibat perkawinan terhadap keturunan anak
Pasal 250 KUHPer, “Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya (tentang anak sah)
Anak sah menurut Pasal 42 UU No.1 Tahun 1974, “Anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.”

6.

Larangan Perkawinan
Dalam KUHPer dijelaskan pada Pasal 30 sampai Pasal 33
Menurut UU No.1 Tahun 1974 larangan perkawinan diatur dalam Pasal 8 






7.






Putusnya Perkawinan
Pasal 199 KUHPer perkwinan bubar, karena: 
  1. Kematian
  2. Kepergian suami atau istri selama 10 tahun dan diikuti dengan perkawinan baru dengan orang lain
  3. Karena purtusan hakim setelah adanya perpisahan meja makan dan tempat tidur selama 5 tahun
Menurut Pasal 38, perkawinan dapat putus karena:
  1. Kematian
  2. Perceraian 
  3. Dan putusan pengadilan



8.









Perceraian


Perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan karena sesuatu sebab dengan keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam perkawinan.

Alasan perceraian diatur dalam Pasal 209 KUHPer:

  1. Zina
  2. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat selama 5 tahun
  3. Penganiayaan berat, yang dilakuakn suami terhadap istri atau sebaliknya, sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya.


Menurut Pasal 19 PP No. 9/1975, bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan:

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau pemabok, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkn
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
  3. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri
  4. Antar suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam berumah tangga.





9.






Perkawinan di Luar Indonesia
Perkawinan-perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, baik antara sesama warga negara Indonesia, maupun antara warga negara Indonesia dengan warga negara lain, adalah sah apabila perkawinan itu dilangsungkan menurut cara yang biasa di negara tempat berlangsungnya perkawinan itu, dan suami istri yang warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan (Pasal 83 KUHPer)

Dalam kurun watu satu tahun setelah suami-istri pulang kembali di wilayah Indonesia, akta tentang perkawinan mereka di luar Indonesia harus di pindahbukukan dalam register kawin umum di tempat tinggal mereka (Pasal 84 KUHPer) 
Hal ini diatur dalam Pasal 56 ayat (1), perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, baik antara sesama warga negara Indonesia, maupun antara warga negara Indonesia dengan warga negara lain, adalah sah apabila perkawinan itu dilangsungkan menurut cara yang biasa di negara tempat berlangsungnya perkawinan itu, dan suami istri yang warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan

Pasal 56 ayat (2), dalam waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkwinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.




Menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang