Penyitaan inilah yang biasanya disebut sita conservatoir. Sita conservatoir ini merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada ketua Pengadilan Negeri untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata dengan menguangkan atau menjual barang debitur yang disita guna memenuhi tuntutan penggugat. Dengan diletakan penyitaan pada suatu barang berarti bahwa barang itu dibekukan dan tidak dapat dialihkan atau dijual. Tidak jarang terjadi bahwa sita conservatoir itu kemudian tidak sampai berakhir dengan penjualan barang yang disita, karena debitur memenuhi prestasinya sebelum putusan dilaksanakan, sehingga sifat sita jaminan itu lebih merupakan tekanan. Penyitaan ini hanya dapat terjadi berdasarkan perintah ketua Pengadilan Negeri atas permintaan kreditur atau penggugat, sesuai pasal 227 ayat 1 (261 ayat 1 RBg), biasanya penyitaan ini disebut conservatoir. Dan sita conservatoir ini merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada ketua Pengadilan Negeri (ketua Pengadilan Agama) untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata, dengan menguangkan atau menjual barang-barang debitur yang disita, guna memenuhi tuntutan penggugat.
Jadi apabila telah ditetapkan penyitaan pada suatu barang, berarti bahwa barang itu dibekukan dan tidak dapat dialihkan atau dijual. Untuk mengajukan sita jaminan ini haruslah ada dugaan yang beralasan, bahwa seorang yang berhutang selama sebelum dijatuhkan putusan oleh hakim atau selama putusan belum dijalankan mencari akal untuk menggelapkan atau melarikan barangnya. Apabila penggugat tidak mempunyai bukti yang kuat bahwa ada kekhawatiran bahwa tergugat akan mengasingkan barang-barangnya, maka sita jaminan tidak dilakukan. Syarat adanya dugaan ini tidak hanya sekedar dicantumkan begitu saja, akan tetapi merupakan suatu usaha untuk mencegah penyalahgunaan agar tidak diadakan penyitaan secara serampangan, yang akhirnya hanya merupakan tindakan yang sia-sia saja yang tidak mengenai sasaran (vektoir). Maka oleh karena itu debitur atau tersita harus didengar untuk mengetahui kebenaran dugaan itu. Dalam hal ini cukup dikemukakan adanya dugaan yang beralasan, sehingga tidak perlu digunakan acara pembuktian menurut undangundang. Di dalam praktek peradilan wewenang hakim untuk memeriksa debitur atau tersita boleh dikatakan tidak pernah digunakan.
a. Sita Eksekutorial
Pada azaznya conservatoir beslag otomatis berkekuatan executorial, pada saat perkara yang bersangkutan telah mempunyai putusan yang pasti, atau mempunyai putusan berkekuatan hukum tetap. Sita eksekusi ini merupakan tahap lanjut penyelesaian suatu perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka dari itu harus ada permohonan dari pihak penggugat yang menang perkaranya, menurut pasal 196 HIR, bunyinya: “Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai mencukupi isi keputusan itu dengan baik, maka pihak yang dimenangkan memasukan permintaan baik dengan lisan atau dengan surat supaya surat keputusan itu dijalankan, yaitu kepada ketua pengadilan yang tersebut pada ayat pertama 195. Maka ketua itu menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta menasehati, supaya ia mencukupi keputusan itu, di dalam waktu yang ditentukan oleh ketua, selama-lamanya 8 hari.” Mengenai tata cara dan syarat-syarat sita eksekusi diatur dalam pasal 197 HIR/RBg. Sita eksekusi ini merupakan suatu jenis sita yang sangat penting, karena disini akan tampak adanya wibawa Pengadilan dalam hal putusannya yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, dapat, atau tidaknya dilaksanakannya penyitaan dengan tujuan menempatkan harta kekayaan tersebut sebagai jaminan, kepentingan pembayaran sejumlah uang kepada penggugat, dilakukan pada tahap:
1) Perkara bersangkutan sudah mempunyai putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap
2) Penyitaan dilakukan pada tahap eksekusi
3) Peruntukan hanya meliputi jenis perkara pembayar sejumlah uang, sedangkan conservatoir beslag meliputi seluruh perkara, CB dapat dilakukan atas benda berdasarkan sengketa milik maupun sengketa utang piutang dan sebagainya.
Akan tetapi, dalam pelaksanaan sita eksekusi terdapat proses panjang yang harus dilalui berdasarkan prosedur hukum yang ada. Hal ini sebagai bagian dari prosedural hukum yang harus dilaksanakan dalam pelaksaan sita eksekusi. Selain itu, proses sebagai tahapan sita eksekusi juga untuk mempermudah dalam melaksanakannya. Adapun tahapan-tahapan untuk menjalankan Penyitaan Sita Eksekusi seperti Bagian di bawah ini :
1. Isi putusan sudah diberitahukan secara resmi.
2. Terkalah (tergugat) tetap tidak mau menjalankan putusan secara sukarela dalam waktu 7 hari/10 hari.
3. Sudah lewat 7/10 hari dari tanggal pemberitahuan putusan tidak mau menjalankan putusan secara suka rela.
4. Ada permohonan eksekusi dari pihak yang menang (Penggugat) kepada ketua Pengadilan Agama.
5. Ketua Pengadilan memanggil Tergugat yang dikalahkan menghadapi kepada Ketua Pengadilan pada hari, tanggal, jam yang ditentukan dalam surat panggilan.
6. Dilakukan Aanmaning, yakni suatu peringatan dari pengadilan kepada pihak berperkara.
7. Ada peringatan batas 8 hari (2/5 hari pasal 196 HIR). Tergugat diminta untuk menjalankan putusan secara sukarela.
8. Dicatat dalam berita persidangan insidentil peringatan tersebut.
9. Sebagai bukti autentik dibuatkan penetapan perintah Eksekusi oleh Ketua Pengadilan Agama sejak saat peringatan telah lampau.
10. Kepada Panitera atau Juru sita berbentuk Surat Penetapan dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Agama dan Berisi perintah menjalankan eksekusi.
11. Pejabat yang melakukan Eksekusi membuat berita acara eksekusi.
12. Pejabat yang menjalankan eksekusi harus dibantu oleh dua orang (Inklusif menjadi sanksi) eksekusi.
13. Berita acara eksekusi ditanda tangani oleh pelaksan eksekusi dan Panitera atau juru sita/kedua orang saksi yang ikut membantu jalannya eksekusi, penandatanganan berita acara merupakan syarat formal keabsahan berita acara tersebut sebagai produk yang bernilai otentik, tanpa ditandatangani, berita acara itu tidak mempunyai nilai otentik dan Kepala desa serta tereksekusi boleh tanda tangan dalam berita acara, tetapi kebolehan bukan merupakan syarat formal hanya kesempurnaan saja. (Pasal 197 a. 6 pasal 210. a.l RBg). Tereksekusi ikut menandattangani adalah sebagai alat bukti untuk mematahkan tuduhan yang mungkin datang dibelakang hari pihak tereksekusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar