Minggu, 22 Desember 2019

Hukum Pertanahan/Agraria di Indonesia

Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah, Pun pada saat manusia meninggal dunia masih memerlukan tanah untuk penguburannya Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan suatu sengketa tanah di dalam masvarakat.Sengketa tersebut timbul akibat adanya perjanjian antara 2 pihak atau lebih yang salah 1 pihak melakukan wanprestasi.

        Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan mengenai tanah juga dapat kita lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa kita sebut dengan UUPA.

Pengertian Agraria

Pengertian agraria dalam arti sempit, Perkataan “agraria” berasal dari bahasa latin “agrarius”, artinya adalah “segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah tanah”. Kata asalnya dari bahasa yunani “ager”, dalam bahasa Belanda “akker”, yang berarti “ladang” atau “tanah pertanian”. Sedangkan menurut dua pakar pertanahan yaitu Sediono Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, yang mana menurut beliau berdua istilah “agraria” berasal dari kata bahasa Latin ‘ager’, artinya: a) lapangan, b) pedusunan, c) wilayah; tanah negara. Kalau kita berbicara masalah agraria maka tidak akan lepas berbicara masalah hukum, sebab agraria itu sendiri mengandung unsur norma, kaidah atau perilaku seseorang yang ada hubungannya dengan tanah.
Pengertian agraria dalam arti luas, Menurut Andi Hamzah, Agraria adalah masalah tanah dan semua yang ada di dalam dan diatasnya. Menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibio, agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalam dan di atasnya. Apa yang ada di dalam tanah mislanya batu, kerikil, tambang, sedangkan di atasnya bisa berupa tanaman, bangunan.
Menurut Profesor Boedi Harsono, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau disingkat UUPA, yang dimaksud dengan agraria mempunyai arti yang sangat luas ialah meliputi bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya. Berdaasarkan luasny arti agraria seperti tersebut di atas. Maka hukum agraria dalam UUPA merupakan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu.
Pengertian Hukum Agraria, menurut Soedikno Mertokusumo, Hukum Agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur agraria. Bachsan Mustofa menjabarkan kaidah hukum yang tertulis adalah Hukum Agraria yang dalam bentuk hukum undang-undang dan peraturan-peraturan tertulis lainnya yang dibuat oleh negara, sedangkan kaidah hukum yang tidak tertulis adalah Hukum Agraria dalam bentuk Hukum Adat Agraria yang dibuat oleh masyarakat adat setempat.


Sejarah Agraria di Indonesia

Sejarah Hukum Agraria Indonesia , apabila mengikuti pendapat Boedi Harsono dapat dibagi dalam periodesasi sebagai berikut:

Masa sebelum kemerdekaan (sebelum tahun 1945)


Masa sebelum Agrarische Wet (1870)


Masa setelah Agrarische Wet (1870 sampai dengan proklamasi kemerdekaan).


Masa Kemerdekaan


Masa sebelum UUPA (tahun 1945 samapi tahun 1960);


Masa UUPA (setelah terbitnya UU No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, tanggal 24 September 1960).

Politik Hukum Agraria Kolonial (Masa Agrarisch Wet sampai dengan tahun 1945) :
 Pada masa penjajahan, politik agraria Belanda di Hindia Belanda (Netherland Indie) tercantum dalam pasal 62 Regeringsreglement (RR) Staatblad (Stb.) 1855No.2, yang isinya terdiri atas 3 ayat, yaitu :

Gubernur Jendral tidak boleh menjual tanah.


Dalam larangan di atas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang diperuntukkan bagi perluasan kota dan desa serta pembangunan kegiatan-kegiatan usaha kerajinan.


Gubernur Jendral dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan ordinasi. Tidak termasuk yang boleh disewakan adalah tanah-tanah kepunyaan orang-orang pribumi asal pembukaan tanah, demikian juga tanah-tanah yang sebagai tempat penggembalaan umum atau atas dasar lain merupakan kepunyaan desa (termasuk dalam desa).

Pada tanggal 9 April 1870, dengan Staatblad tahun 1870 Nomor 55 ditetapkan suatu undang-undang di negeri Belanda, yang dikenal dengan nama “Agrarische Wet” (AW) yang terdiri atas 5 pasal, yaitu selengkapnya berbunyi:

Menurut ketentuan yang ditetapkan dengan ordinasi, diberikan tanah dengan hak erfpacht selama waktu tidak lebih dari 75 tahun.


Gubernur jendral menjaga, jangan samapi ada sesuatu pemberian tanah melanggar hak-hak penduduk asli (bangsa Indonesia);


Tanah-tanah yang diusahakan (dipergunakan) bangsa Indonesia untuk keperluan sendiri, atau tanah-tanah yang berupa tanah penggembalaan umum atau karena salah satu sebab termasuk turut kampung-kampung (desa-desa), tidak dikuasai oleh Gubernur Jendral, kecuali untuk keperluan umum berdasarkan Pasal 133 IS, dan untuk tanaman-tanaman yang diadakan oleh penguasa menurut aturan-aturan yang berhubungan dengan itu, dengan pemberian kerugian yang layak.


Kepada orang Indonesia (Bumiputera) yang mempunyai tanah milik dengan sah, atas permintaannya diberikan hak Eigendom atas tanah itu, dengan pembatasan-pembatasan yang mengenai kewajiban kepada negara dan desa dan pembatasan-pembatasan kekuasaan untuk menjualnya kepada bukan bangsa Indonesia, maka akan ditetapkan dengan ordonasi dan akan disebutkan dalam surat eigendom itu;


Menyewakan tanah atau menyerahkan tanah untuk dipakai oleh orang Indonesia kepda bukan bangsa Indonesia dilaksanakan menurut aturan-aturan yang ditentukan dengan ordonasi.

5 (lima) pasal dari Agrarische Wet ini kemudian ditambahkan sebagai tambahan ayat baru dari pasal 62 RR (yang semula terdiri atas 3 (tiga) ayat), dengan tambahan 5 ayat baru ini maka Pasal 62 RR terdiri atas 8 ayat. Pasal 62 RR kemudian menjadi Pasal 51 Insiche Staatregeling (IS) pada tahun 1925.
Agrarische Wet lahir atas desakan dari pengusaha-pengusaha besar swasta yang berkeinginan berusaha di bidang perkebunan besar di wilayahHindia Belanda. Sebelum terbentuknya AW pada tahun 1870, satu-satunya cara yang terbuka adalah menyewa tanah dari pemerintah. Hal ini tidak menguntungkan dari segi bisnis karena jangka wkatu sewa maksimal hanya 20 tahun, sedangkan menyewa tanah dari rakyat pribumi dilarang oleh undang-undang. Dengan terbitnys AW, maka terbuka kesempatan bagi pengusaha-pengusaha besar tersebut untuk mendapatkan hak Erfpacht untuk jangka waktu 75 tahun.
Undang-undang Agraria 1870 ini (AW) hanya berlaku bagi daerah-daerah yang dikuasai langsaung oleh pemerintah Hindia Belanda atau biasa deisebut: daerah Gubernemen (Direct/rechtstreek bestuurd gebied atau Gouvernements-gebied) dan tidak berlaku bagi daerah yang tidak dikuasai secara langsung (Indirect bestuur gabied atau Zelfbesturende Landschappen atau daerah Swapraja).
Sebagai pelaksanaan dari Agrarische (AW) ini, maka pemerintah Belanda melalui suatu AmvB (Algemeene Maatregel van Bestuur), mengeluarkan Argrasich besluit (Keputusan Agraria) dalam bentuk satu Keputusan Raja Belanda (Koninklijk Besluit/KB) tanggal 20 Juli 1870 Nomor 15, termuat dalam Staatblad (Stb). Tahun 1870 Nomor 118, dan terdiri dari 3 bab : 1 tentang hak-hak tanah (Pasal 1-7), II tentang pemberian tanah (Pasal 8-18b), III. Tnetang ketenuan-ketentuan capuran.
Yang terpenting dari kepitusan Agraria (Agrarisch Besluit) itu adalah ketentuan Pasal 1, yang menyatakan:
“dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan 3 AW tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein (milik) negara.
Pernyataan yanh terjelma dalam pasal 1 itu terkenal dengan istilah asing “Domein verklaring” atau “pernyataan domein, pernyataan tanah negara”. Tanah Negara (Landsdomein atau Staatsdomein) yang tidak terikat hak-hak bangsa Indonesia disebut tanah negara bebas (vrijlandsdomein), sedang tanah yang diatasnya dihinggapi hak-hak pribumi (bangsa Indonesia) disebut tanah negara tidak beas (onvrij landsdomein).


Tujuan UUPA

Tujuan lahirnya UUPA yaitu:
1. Untuk meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria
Nasional
2. Untuk meletakkan dasar-dasar, mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak atas tanah. Kepastian hukum yang dimaksudkan mencakup: kepastian mengenai subyek hukum atas tanah (orang atau badan hukum); kepastian mengenai letak, batas, ukuran / luas tanah atau kepastian mengenai obyek hak; dan kepastian mengenai status hak atas tanah yang menjadi landasan hubungan-hubungan antar orang/badan hukum.


Hak-hak Atas Tanah dalam UUPA

Yang dimaksud dengan hak atas tanah ialah, hak yang memberikan wewenang untuk mempergunakan permukaan bumi atau tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk keperluan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Secara hierarkhis Tata susunan hak penguasaan atas tanah ialah:

Hak bangsa Indonesia dalam ketentuan pasal 1 UUPA ditegaskan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia


Hak menguasai dari negara atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 undang-undang dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuatan seluruh rakyat


Hak-hak individu


 Hak atas tanah


primer terdiri dari hak milik hak guna bangunan, hak guna usaha, serta hak pakai yang diberikan oleh negara


sekunder terdiri dari hak guna bangunan, hak pakai yang diberikan oleh pemilik tanah, hak gadai hak usaha bagi hasil, hak menumpang, hak sewa dan lain-lain

b. Wakaf
c. Hak jaminan atas tanah
Dilihat dari pengertian jangka waktu berlakunya dan subjek yang dapat memilikinya hak atas tanah dibedakan:

a. Hak atas tanah yang bersifat tetap

Hak milik


HGU ( Hak Guna Usaha)


HGB (Hak Guna Bangunan)


Hak Pakai


Hak Sewa


Hak atas tanah yang bersifat sementara


Hak Gadai


Hak Usaha Bagi Hasil


Hak Menumpang


Hak sewa Bangunan


Hak sewa tanah pertanian.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar